Rabu, 06 Oktober 2010

Ujian, Test, Evaluasi, Penilaian: Pahami Potensi Permasalahannya

Sejak terlahir ke dunia hingga ajal menjemput sangat banyak ujian yang seseorang jalani. Mendewasakan, namun, dibalik itu banyak polemik terkait diadakannya ujian, test, evaluasi, atau apalah namanya.

Menurut hemat penyelenggara, ujian dipandang sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh peserta untuk dapat melangkah ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Atau bisa jadi dijadikan sebagai acuan untuk menstandarkan sistem tertentu atau bahkan sebagai ajang penentuan peringkat bagi seluruh peserta yang ada.

Selain sisi positif yang telah disebutkan diatas, ternyata tidak lepas dari berbagai kendala yang masih harus diatasi. Melalui perbaikan jenis ujian itu sendiri, atau dari perspektif yang lebih luas mengenai apakah masih releven menyelenggarakan aktivitas ini.

Satu keterbatasan yang harus dipertimbangkan kembali adalah apakah hanya dengan satu kurun waktu yang relatif singkat dapat merepresentasikan kondisi yang sebenarnya. Ini seolah menafikan aktivitas dalam rentang waktu tertentu selama masa periode yang akan diujikan. Untuk kasus semacam ujian nasional, memang relatif kompleks permasalahannya, tetapi dengan melibatkan proporsi tertentu bagi pilak sekolah untuk menilai dan menentukan kelulusan siswa dapat dijadikan referensi untuk perbaikan ke depan.

Ujian terkadang memaksa peserta untuk mempersiapkan diri sedekat mungkin dengan waktu ujian. Bahan ujian yang berlebih membuat peserta mungkin saja ingat saat itu, tetapi sangat mudah untuk terlupakan di masa yang akan datang. Sifatnya yang instant menyebabkan tidak tertanam dengan baik di ingatan peserta. Belum lagi dengan kecilnya kemungkinan untuk memahami lebih dalam yang terlewatkan dengan rentang waktu yang sangat singkat.

Dalam kasus lain, evaluasi semacam ini secara fisik membuat impresi semu terhadap objek yang akan dinilai. Lips service, briberry, atau kebohongan terkadang dilakukan untuk terlihat baik dan dinilai baik walaupun realitanya mungkin saja tidak seperti itu. Kepalsuan sacara tidak sadar akan menular ke peserta sehingga di masa yang akan datang sifat ini bukan tidak mungkin akan muncul kembali dan secara berulang-ulang akan membentuk kepribadian yang kurang terpuji. Contohnya sifat korup.

Ujian terkadang mengabaikan keragaman alami yang dibawa setiap individu. Potensi dan bakat individu yang satu dengan lainnya sangat beragam. Bagaimana mungkin tanpa memilahnya berdasarkan bakat dan ketertarikan peserta dinilai berdasarkan standar yang mereka saja tidak tau tujuannya terkait potensi besar yang mereka miliki.

Terkait dengan nilai yang berhasil dicapai, dapat dipandang menjadi suatu pelabelan pintar-bodoh, atau apalah itu yang terkadakang bagi individu tertentu membuat mereka ter-demotivasi. Misalnya dengan dalam hati mereka mengatakan bahwa ”dasar memang saya bodoh”, atau ”wajar saja dia yang terbaik”, yang sangat berbahaya bagi psikologis individu itu sendiri. Atau dalam kasus lain akan menimbulkan rasa congkak bagi individu tertentu dan memandang individu lain inverior dibanding dirinya.

Tentunya beberapa perangkap ujian yang sudah disinggung diatas, harus dapat dieliminir atau paling tidak diminimalisir sehingga efek negatif baik langsung maupun yang akan timbul di masa mendatang cenderung berkurang. Semoga kita dapat mengambil sebesar-besarnya manfaat dari kondisi yang ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Belahan Jiwaku Akhirnya di kembali ke Sang Pencipta

Kisah pilu, yang tertuang di posting tahun lalu, harus bertambah lagi. Di bagian akhir posting tersebut, saya sudah menceritakan bagaimana k...