Minggu, 08 Agustus 2010

Seberapa Rasionalkah Bisnis Multi Level Marketing (MLM)?

Di suatu kesempatan saya berbicang bincang dengan rekan saya mengenai bisnis multi level marketing (MLM). Perbincangan ini sebenarnya tidak lama tetapi saya bisa manarik kesimpulan bahwa kami berdua memang sepakat bahwa bisnis MLM menyisikan residu kerugian akan ditanggung oleh si orang yang terbujuk dengan mimpi manis yang ditawarkan.

Mimpi manis ini bukan sekedar cerita bohong, bisa saja ini benar, tetapi tetap saja setiap orang tidak memiliki peluang yang sama untuk bisa dikatakan berhasil dalam bisnis ini. Bisa saja perusahaan bersiasat mendorong seseorang anggota yang dianggap potensial untuk diberikan kesempatan mendapatkan mimpi yang dijanjikan dengan harapan imbalan ini sebagai sarana promosi untuk menarik lebih banyak calon pelanggan emosional untuk sepakat bergabung dengan jaringan bisnis semacam ini.

Lalu dari mana datangnya kerugiannya? Potensi kerugian akan ditemukan dimana informasi tentang bisnis tersebut sudah dapat diakses oleh semua orang dan setiap orang sudah dapat memutuskan untuk berbagung atau tidak bergabung dalam bisnis semacam ini. Atau bahkan secara rasional sudah dapat memutuskan untuk tetap menjalankan bisnis tersebut dengan segala mimpinya atau tidak aktif lagi memperjuangkan bisnisnya. Dalam kondisi seperti ini, laju pertumbuhan anggota yang bergabung tidak sebesar pertumbuhan tingkat biaya bonus atau komisi yang harus dibayarkan pada anggota-anggotanya. Macet... dan akhirnya mati.

Tidak jarang kita mendapati biaya keanggotaan untuk bisnis semacam ini nilainya relatif besar dari yang selayaknya. Selain produk, sebenarnya potensi penghasilan terbesar yang dapat diperoleh anggota bersumber dari biaya keanggotaan ini. Mirip dengan money game tetapi dikaburkan dengan adanya produk yang dijual. Juga dengan margin keuntungan yang sangat besar dan tidak rasional atau dengan skim yang lain yang bila dicermati secara mendalam umumnya tidak wajar.

Porsi biaya pendaftaran ini yang kemudian didistribusikan kembali ke beberapa tingkat atasan dari anggota tersebut. Sebagian lagi masuk ke perusahaan pengelola bisnis dan dialokasikan untuk pembayaran produk jualan perusahaan, biaya keanggotaan, kartu anggota, asuransi, dan berbagai bentuk fasilitas lainnya. Jadi tetap saja yang bayar adalah anggota itu sendiri.

Mungkin masih ada berbagai permasalahan terkait bisnis ini. Keterbatasan pengetahuan dan pengalaman saya mungkin membatasi pembahasan yang singkat ini. Silahkan berkomentar dan memberi masukan terkait sisi negatif dan atau positif bisnis semacam ini walaupun di artikel ini saya tidak menyinggung sisi positifnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Belahan Jiwaku Akhirnya di kembali ke Sang Pencipta

Kisah pilu, yang tertuang di posting tahun lalu, harus bertambah lagi. Di bagian akhir posting tersebut, saya sudah menceritakan bagaimana k...