Jumat, 29 April 2011

Prospek Komoditas Karet dari Perkebunan Karet di Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan

Di suatu kesempatan, saya mendapat tugas ke daerah di Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan. Kondisi ini membuat saya ingin tahu di sektor apa umumnya masyarakat di sana berkerja. Kabarnya memang disana merupakan pusat perkebunan karet dan tambang batu bara. Ada beberapa perusahaan yang mengelola perkebunan karet selain dikelola secara tradisional oleh masyarakat setempat. Selain itu, ada satu perusahaan tambang besar yang memiliki kontrak karya disana. Namun dibawahnya ada beberapa perusahaan afiliasi maupun yang bersifat kerjasama dalam pertambangan tersebut.

Untuk perusahaan tambang, mungkin akan kita bahas di posting berikutnya, dan untuk sekarang saya lebih tertarik untuk membahas prospek dan tantangan dari perkebunan karet tersebut. Informasi yang yang saya himpun berasal dari pelaku usaha ini, dan masyarakat yang tidak terlibat secara langsung dalam proses pengerjaan kebun. Namun, dengan demikian saya berhadap, informasi yang bisa saya tangkap merupakan informasi yang relevan dengan metode pertanyaan yang menguji kekonsistenan jawaban sehingga diarapkan dapat mendekati akurat.

Untuk satu hektar kebun menurut hasil penelitian dinas pertanian, penyadapan dilakukan dengan metode 2-1. Dengan metode ini, setiap setelah 2 hari tidak disadap maka di 1 hari di hari ketiga penyadapan dilakukan. Akan tetapi di daerah tersebut, metode ini dibalik menjadi 1-2, dimana dalam tiga hari, 1 hari off dan 2 hari disadap. Dan setiap kali setelah disadap, lahan satu hektar dapat menghasilkan rata-rata sebanyak 35kg. Berat ini karet hasil sadapan ini bervariasi tergantung berbagai factor seperti cara pengelolaan kebun, pemberian pupuk, dan cara menyadapnya. Cuaca juga sangat berpengaruh terhadap produksi karet. Bila hujan datang, petani tidak akan melakukan penyadapan karena mereka takut hujan asam membuat tanaman mereka bisa menjadi rusak dan menurun kemampuan produksinya. Variasi berat hasil panen bisa dengan berat terkecil sebanyak 25kg hingga 50kg per hektar.

Harga karet di tingkat petani juga bervariasi, sayangnya mereka tidak punya kekuatan menawar yang cukup sehingga harga lebih banyak ditentukan oleh juragan pengepul karet. Harga tertinggi yang pernah dicapai adalah senilai Rp.20rb/kg, namun disaat saya bertandang ke sana harga berada di kisaran Rp.15rb/kg. Jadi untuk satu bulan panen petani umumnya mendapatkan sebesar Rp.10,5jt per bulan (35kg x 15rb x 20 hari). Tetapi ini belum dikurang dengan biaya perawatan dan tenaga kerja.

Pemupukan umumnya dilakukan 2 kali setahun walaupun idealnya 3 kali setahun, selain itu biaya tenaga kerja penyadapan juga harus dipertimbangkan. Di wilayah tersebut umumnya mereka memberlakukan system bagi hasil dengan proporsi 40:60, dimana pemilik mendapatkan 40 persen dari keuntungan bersih yang didapatkan dalam setiap panen. 60 persen diberikan kepada tenaga penyadapnya. Namun ada juga satu wilayah kecil yang menggunakan system upah untuk penyadapan tersebut.

Hasilnya, ambil contoh di kecamatan Haruai yang dulunya adalah daerah transmigrasi sekarang kehidupan masyarakat disana perekonomiannya jauh membaik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Belahan Jiwaku Akhirnya di kembali ke Sang Pencipta

Kisah pilu, yang tertuang di posting tahun lalu, harus bertambah lagi. Di bagian akhir posting tersebut, saya sudah menceritakan bagaimana k...