Kamis, 25 Juni 2009

Emas Sebagai Standar Nilai: Langkah Antisipasi Kerugian Penurunan Nilai Mata Uang

Emas sudah lama dikenal sebagai logam yang berfungsi sebagai alat tukar. Namun, kelangkaan emas membuat sebagian besar (atau seluruh) negara pengubah acuan dalam mencetak uang menjadi tanpa jaminan emas. Akibatnya sudah bisa ditebak, inflasi dan gelembung ekonomi tidak tertahankan.

Coba lihat betapa lemahnya nilai mata uang yang kita pegang terhadap nilai emas. Dalam 15 tahun terakhir, terlihat perubahan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap nilai emas (bukan harga emas yang semakin mahal, seperti yang orang biasa gambarkan) yang sangat drastis.


Bila emas dijadikan standar satuan nilai, maka untuk melihat seberapa besar merosotnya nilai rupiah dapat dihitung dengan cara berikut ini: Tahun 1994, harga emas sebesar Rp. 771.912,-/oz setelah 15 tahun menjadi Rp. 9.540.854,-/oz, jadi nilai rupiah terdepresiasi sebesar 1.136% atau sebanyak 11,36 kali ((Rp. 9.540.854,-/Rp. 771.912,-) – 1).

Bagaimana bila kita menempatkan uang di deposito dengan bunga 15%/thn (angka optimistik)? Untuk kasus seperti ini kita akan lihat bahwa nilai uang meningkat bertambah sebesar 225% (15% x 15 thn) atau sebanyak 2.25 kali.

Untuk membuktikan bahwa benar terjadi penurunan nilai mata uang terhadap emas, kita harus membandingkannya dengan menggunakan parameter yang tepat. Perhitungan yang akan kita coba lakukan disini mungkin bukan perhitungan exact yang tepat, tapi atas dasar rasionalitas dan prinsip proporsionalitas. Untuk memudahkan ilustrasi kita memerlukan katalis yang dipakai untuk mengukur kekuatan nilai mata uang rupiah. Katalis ini adalah inflasi. Kita mengasumsikan inflasi 8% per tahun (angka optimistik).

Artinya dalam 15 tahun terjadi penurunan daya beli nilai mata uang rupiah sebesar 120% (8% x 15 tahun). Gambaran sederhananya, kalau dulu kita bisa membeli beras seliter dengan harga Rp. 2.000,-setelah 15 tahun, kita harus membayar Rp. 4.400,- (Rp. 2.000 x (1 + 120%)) untuk jumlah beras yang sama.

Dengan asumsi inflasi 8% per tahun maka akan mengurangi nilai dari pendapatan yang diperoleh dari deposito menjadi 105% (225% -120%). Penurunan nilai dari yang seharusnya bila menggunakan standar emas yaitu sebesar 10,31 kali (11,36 – 1,05) atau setara dengan 1.031%.

Dari hitung-hitungan sederhana tadi sudah sangat jelas bahwa emas sangat tepat digunakan sebagai standar nilai dan juga sekaligus bertindak sebagai alat pelindung nilai dari kemerosotan nilai mata uang. Emas juga bukan merupakan instrumen investasi.

Mungkin hampir mustahil untuk bisa mengubah kondisi ini (kembali menggunakan emas sebagai standar nilai) secara menyeluruh. Tetapi bukan berarti tidak mungkin. Perubahan yang paling mungkin bisa dilakukan adalah dengan perubahan yang dimulai dari diri kita sendiri. Sulit? Awalnya mungkin sulit. Tetapi dengan komitmen kuat saya percaya kita bisa mengubah pola pandangan yang keliru ini dengan membiasakan menggunakan paradigma ini. Sebuah paradigma yang sebenarnya sudah digariskan dan ditetapkan sebelumnya oleh Allah SWT melalui Al-Qur’an dan kitab suci lainnya.

Harapannya, melalui blog ini kita bisa kembali menggunakan emas sebagai standar nilai untuk mengantisipasi kerugian akibat penurunan nilai mata uang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Belahan Jiwaku Akhirnya di kembali ke Sang Pencipta

Kisah pilu, yang tertuang di posting tahun lalu, harus bertambah lagi. Di bagian akhir posting tersebut, saya sudah menceritakan bagaimana k...