Jumat, 22 Mei 2015

Menganggur itu Pilihan, Bukan Takdir

Saya pernah membaca salah satu artikel yang saya lupa sumber dan penulisnya. Tetapi ada hal penting yang terus teringat dalam pikiran saya. Iya seperti judul artikel ini, menganggur itu adalah pilihan, bukan takdir. Saya akan sedikit menulis terkait dengan itu.

Batasan tulisan saya ini saya arahkan untuk pria usia produktif. Karena bagaimanapun, di agama yang
saya yakini, pemenuhan kebutuhan keluarga merupakan tanggung jawab penuh seorang suami yang seorang laki-laki. Bahkan dalam kasus sang istri bekerja dan berpenghasilan, penghasilan istri adalah milik (hak) istri sendiri, sedangkan penghasilan suami merupakan milik (hak) istri juga.

Terbayang jelas bahwa tanggung jawab memenuhi kebutuhan keluarga jelas ada di tangan laki-laki. Bahkan dengan aliran emansipasi wanita, seharusnya kedudukan wanita yang mulia ini tetap tidak bisa dibandingkan dengan pria. Masing-masing memiliki keistimewaannya masing-masing dengan peran yang spesial juga.

Iya, menganggur memang pilihan. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk mendapatkan rezeki yang halal dari Allah SWT. Namun setiap pilihan profesi memiliki resiko dan konsekuensinya masing-masing. Mau kerja kantoran di Bank, harus siap dengan dedikasi tinggi dengan waktu yang terbatas untuk keluarga, dimana harus pergi pagi pulang sore menjelang malam, atau terkadang malam sekalian. Belum lagi untuk pekerja yang berada di kota-kota besar, dihadang macet saat berangkat dan pulang kantor merupakan hal yang jamak.

Demikian pula dengan mengambil pilihan sebagai seorang pengusaha. Dalam merintis bisnis, diperlukan curahan waktu, tenaga, dan bahkan uang untuk memulai dan mengembankan bisnis. Belum lagi hambatan psikologis, dimana sebagian masyarakat di Indonesia tidak disiapkan oleh orang tuanya untuk siap berwirausaha. Memiliki mental baja, kreatif, inovatif, tidak gampang menyerah, dan mengabaikan gengsi. Seiring perkembangan usaha, kebanyakan berujung kegagalan, dan hanya segelintir saja yang tetap survive dengan kondisi yang begitu begitu saja, dan sangat-sangat jarang yang kemudian bertahan dan bertumbuh menjadi besar, mendiversifikasi usahanya ke berbagai lini bisnis, dengan title pengusaha sukses yang melekat.

Apapun profesinya, ambil kata tidak sebagai pegawai, setiap orang memiliki potensinya masing masing yang Allah berikut untuk dapat dikembangkan dan secara adil akan mendapatkan rezeki-Nya. Berapapun besaran pendapatan saat ini bukan merupakah hal yang penting. Yang penting bahwa pendapatan yang diperoleh dapat digunakan untuk kepentingan keluarga, berbagai dengan yang lain dengan zakat, infaq, dan sodaqah. Tidak ada aturan pasti berapa penghasilan manimal yang harus setiap individu hasilkan dari aktivitas produktifnya, hanya ada aturan besaran persentase kewajiban membayarkan hak orang lain yang harus ditunaikan.

Bagi yang masih muda dan masih banyak belajar, sangat wajar jika penghasilan belum dapat sebagaimana yang diimpikan orang pada umumnya. Dengan ketekunan dan ikhtiar tanpa lelah, suatu saat harapan dan impian positif yang sudah ditanamkan sejak awal akan mengarahkan setiap langkah dan aktivitas untuk membangun titian menuju kesuksesan hakiki. Sukses dunia dan akhirat.
Jadi harus terus diingat bahwa menganggur itu pilihan (atas kompromi terhadap gengsi, pandangan orang yang belum tentu benar, dan steriotip pesimisme masyarakat), dan bukan merupakan takdir. Mengubah pendangan kita sedikit saja tentang kompromi tersebut bisa mengubah drastis hidup seseorang secara mengejutkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Belahan Jiwaku Akhirnya di kembali ke Sang Pencipta

Kisah pilu, yang tertuang di posting tahun lalu, harus bertambah lagi. Di bagian akhir posting tersebut, saya sudah menceritakan bagaimana k...