Kamis, 19 Agustus 2010

Hutang Lebih Besar Dari Aset

Di negeri ini siapa yang tidak kenal dengan Abu Rizal Bakrie. Akibat krisis ekonomi tahun 1998 hutang usahanya menjadi lebih besar daripada aset yang dimilikinya. Sebelum kemudian ia masuk dalam bisnis pertambangan yang saat itu tidak banyak dilirik orang.

Lihat juga bagaimana kasus televisi swasta nasional TPI. Kisruh akibat ketidak mampuan membayar obligasi jatuh tempo membuat perusahaan ini menjadwalkan ulang kembali hutangnya hingga akhirnya terjadi restrukturisasi kepemilikan perusahaan. Walaupun sempat di klaim bangkrut, yang hingga saat ini belum ada putusan atas itu.

Dua kasus diatas hanya sekelumit kasus dari berbagai kasus serupa terkait dengan struktur modal perusahaan. Kita akan mencoba membahas mengapa ini bisa terjadi. Secara rasional pemberi hutang tentunya tidak mau menginvestasikan dananya pada instrumen yang risikonya tidak sebanding dengan tingkat pengembalian yang diharapkannya.

Terjadinya hutang lebih besar dari aset dapat dijelaskan dengan dua pendekatan yaitu risiko bisnis dan risiko sistematis. Risiko bisnis merupakan risiko yang melekat terkait karakter spesifik bisnis itu sendiri sedangkan risiko sistematis lebih pada risiko yang akan diterima oleh semua usaha secara luas. Contoh sederhanya yah kasus krisis ekonomi tadi. Hutang yang diperoleh dari pihak asing dan dalam mata uang asing saat krisis besarannya menjadi berlipat 5 hingga 8 kali lipat sedangkan nilai aset perusahaan tidak banyak berubah.

Pertanyaan yang muncul terkait kondisi hutang lebih besar dari aset adalah apakah serta merata perusahaan menjadi bangkrut. Melihat dari kasus Bakrie dan TPI diatas bisa disimpulkan bahwa perusahaan tidak serta merta bangkrut. Harus ada delik pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan dulu baru kemudian kasusnya akan disidangkan di pengadilan perdata. Putusan sidang ini yang kemudian akhirnya menyatakan bahwa perusahaan tersebut bangkrut atau tidak.

Rabu, 18 Agustus 2010

Merenungkan Kembali Tantangan Demokrasi

Berdasarkan berbagai sumber, demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.

Sebagai sistem buatan manusia, keterbatasan dan tantangan dari sistem demokrasi menjadi satu hal yang harus diperhatikan. Perlu dilakukan berbagai penyempurnaan didalamnya. Keterbatasan tersebut antara lain, pertama, dana kampanye yang sangat besar. Tidak kurangan dari 7,4 trilyun rupiah digelontorkan untuk pesta rakyat ini. Dana tersebut belum termasuk dana yang dikeluarkan oleh calon pejabat dari kontong pribadi dan dari partai yang mengusungnya.

Kedua, demokrasi memungkinkan munculnya raja-raja kecil di daerah-daerah. Proses pemilihan setingkat gubernur dan bupati secara politik terlihat janggal untuk dapat memenuhi komitmen yang telah ditetapkan pemerintah pusat. Gubernur yang sudah menjabat, sulit rasanya untuk bisa diberhentikan begitu saja oleh presiden bila yang bersangkutan tidak melakukan tindakan melawan hukum.

Ketiga, terlahirnya pejabat yang tidak memiliki jiwa kepemimpinan dan program kerja yang nyata. Orientasi yang berbeda antara kampanye sebagai suatu proses untuk menduduki jabatan tertentu yang lebih cenderung banyak menawarkan mimpi-mimpi kepada masyarakat yang akan dipimpinnya, dengan orientasi realitas dimana kondisi ini banyak mementahkan dan sebagai alasan utama dalam tidak berjalan dan ketidak tercapaianya mimpi yang ditawarkan dalam masa kampanye tersebut.

Empat, pejabat yang terpilih merupakan representasi kondisi mayoritas masyarakat yang dipimpin. Bila secara umum mentalitas masyarakatnya adalah koruptor, maka yang terpilih sebagai pejabat tidak pelak adalah koruptor juga, atau setidaknya menuju kearah itu. Tidak terbuka kesempatan untuk seorang yang tidak populer untuk bisa menjadi pejabat melalui mekanisme ini.

Kelima, yang tidak kalah pentingnya adalah rendahnya independensi pejabat dari pengaruh partai yang mengusung terhadap keputusan-keputusan dan kebijakan-kebijakan yang akan diambil. Pertaruhan kepentingan pasti akan terjadi. Konflik ini terpotensi melahirkan kebijakan yang tidak pengarah pada kemaslahatan masyarakat.

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah dengan menganut demokrasi kita dapat mengeliminir berbagai tantangan tersebut?

Minggu, 15 Agustus 2010

Pengelolaan Koperasi: Tantangan dan Wacana Solusi

Baru baru ini saya menghadiri Rapat Anggota Tahunan (RAT) dari suatu koperasi. Ada berbagai hal yang disampaikan di pertemuan tersebut. Berbagi pendapat untuk kemajuan koperasi hingga penyampaian laporan pertanggung-jawaban pengelolaan koperasi tersebut.

Pembahasan utamanya arahnya adalah upaya memajukan koperasi dengan meningkatkan proporsi pendapatan yang bersumber dari penjualan daripada pendapatan dari bunga atas pinjaman ke anggota.

Ada beberapa outline yang menjadi saran, pertama mengenai adminstrasi dan surat menyurat, kedua, terkait strategi peningkatan pendapatan, dan yang ketiga adalah rencana program kerja dengan menjalin lebih banyak kemitraan.

Terkait adminstrasi dan surat menyurat, perlu dilakukan banyak pembenahan mengenai standar. Kegagalan dalam pengelolaan ini menyebabkan timbulnya demotivasi dari anggota dan pengurus koperasi. Tugas dan tanggung jawab pengurus dan anggota harus diungkap secara gamblang di AD/ART dan dikomunikasikan pada seluruh anggota dan pengurus. Tidak kalah pentingnya adalah kekonsistenan dalam menjalankannya.

Wacana pengelolaan secara syariah juga muncul. Tujuannya jelas adalah agar usaha mulia yang dilakukan koperasi harus juga didukung dengan tatanan yang mulia pula. Tujuan yang baik bila dijalankan dengan cara yang keliru akan memberikan dampak negatif di masa yang akan datang.

Unsur kehati-hatian tetap menjadi prioritas bagi pengelolaan koperasi. Implikasinya, selain menganut sistem antrian atas pengajuan kredit, diperlukan analisis lebih untuk mengantisipasi potensi kerugian dan ketidak-nyamanan anggota. Namun disisi lain tetap mempertimbangkan aspek humanis dan tingkat kritikal.

Program peningkatan pendapatan melalui peningkatan peran penjualan produk di kalangan anggota koperasi maupun pihak luar menjadi perhatian penting. Kendala terbesar adalah adanya aturan bersama yang menetapkan margin laba sebesar 10% dari harga pembelian. Sampai akhir pertemuan pembahasan mengenai hal ini tetap menemui jalan buntu. Alternatif solusi yang diajuakan dengan melalukan pembelian secara partai untuk mendapatkan harga diskon juga termentahkan karena skala penjualan koperasi yang relatif masih kecil. Membangun kemitraan tentunya selain komitmen perlu juga kinerja yang baik untuk menjamin pola kerjasama yang saling menguntungkan.

Menurut saya, aturan yang kaku mengenai margin laba yang sama untuk setiap produk ada baiknya dipertimbangkan kembali. Perlu dilakukan penelitian kecil tengan pengaruh harga terhadap permintaan produk yang dijual di koperasi. Bila elastisitas permintaanya tinggi maka kebijakan penetapan margin laba yang tinggi kelihatannya kurang tepat. Tekan margin laba agar harga menjadi rendah (murah) dan dengan demikian permintaan (penjualan) akan produk akan meningkat.

Ingat hitung-hitungan dagang. Prioritaskan pada perputaran tanpa mengabaikan margin laba. Itu yang penting. Margin laba 2% mungkin terlihat kecil, akan tetapi bila perputaran penjualannya tinggi maka secara kumulatif dalam satu periode akan diperoleh margin laba yang relatif tinggi. Coba bandingkan lebih baik menjual 1000x dalam satu tahun dengan margin 2% atau 50x dengan margain 10% dalam setahun (2000% vs 500%). Tetapi harus tetap diingat asumsi elastisitas harga terhadap permintaan tadi.

Peningkatan pangsa pasar juga harus diutamakan, jangan membatasi diri hanya pada anggota saja. Potensi terbesar dapat diraup dari konsumen diluar anggota. Coba hitung berapa jumlah anggota koperasi anda yang ada. Sangat terbatas. Bila hanya berorientasi anggota maka tingkat pendapatan koperasi akan terbatas juga. Coba jajaki pemasaran yang lebih luas. Tidak mustahil skala ekonomis akan dapat dicapai dengan cara ini.

Meningkatkan pola kemitraan dengan pemasuk juga penting. Baik secara kualitas maupun kuantitas. Evaluasi pemasok yang sudah ada secara berkala sambil memantau keberadaan potensi suplier alternatif sehingga produk dan harga akan selalu dapat terjaga sesuai harapan koperasi.

Saran dan inspirasi dalam tulisan ini merupakan respon dari satu kasus koperasi tetapi mungkin saja bisa diaplikasikan pada koperasi-koperasi yang lain. Itu juga sebabnya arah pembahasannya adalah usulan solusi pemacahan permasalahan koperasi tersebut, sehingga masukan positif untuk pengelolaan koperasi lebih lanjut akan sangat berarti.

Sabtu, 14 Agustus 2010

Iklan Praktis: Blackberry Torch 9800 Slider Smartphone Unlocked

Kategori Iklan*:Handphone & PDA
Judul Iklan*:Blackberry Torch 9800 Slider Smartphone Unlocked
Isi Iklan*:Product Includes
BlackBerry Slider 9800 Smartphone Unlocked 300USD
AC travel charger
Standard battery
Carry case
USB data cable
Sync software
User manual

Key Product Features
HVGA display
512 MB of RAM,
4 GB of on-board storage
Wi-Fi 802.11n
BlackBerry (NSDQ: RIMM) OS 6.0



Yahoo Chat : Telecom_store@yahoo.com

Email Purchase order :: Telecomstore.shop@gmail.com

MSN Chat: Telecomstore.shop@hotmail.com

Skype: Telecomstore.shop

So we await your order .

Thanks And Allah Bless
Happy Ramadan

Sales Manager : Ahmad Khairul Azizi
Harga (Rp.)*:3000000
Gambar*:
Nama Kontak*:AZIZI
Alamat*:12 Kings street miri
Kota*:kl
Telpon / HP*:60102995803
Email*:telecom_store@yahoo.com



Powered by EmailMeForm

Selasa, 10 Agustus 2010

Agenda dibalik ”Made in China”

Semua orang terperangah ketika melihat pertumbuhan ekonomi China yang fantastis. Walaupun akhir-akhir ini terjadi kecenderungan melambatnya pertumbuhan ekonomi di China akibat pemerintah setempat mulai menahan kredit dan kecenderungan beberapa program stimulus ekonomi mulai hilang (www.bbc.co.uk).

Di kesempatan ini, kita akan mencoba mengulasnya agenda apa yang diusung China dengan "Made in China"-nya. Iya, ini merupakan kebijakan pemerintah China yang mewajibkan produsen-produsen global untuk mencantumkan label ”Made in China” bila memutuskan memproduksi produk mereka di negeri tirai bambu tersebut.

Strategi cerdik ini dirancang untuk mengubah persepsi konsumen global tentang kualitas produk buatan China dari inferior menjadi superior. Mendompleng standar kualitas produsen global tentunya sangat nguntungkan karena secara financial tentunya pemerintah tidak perlu mengeluarkan dana dalam jumlah besar untuk kepentingan ini. Disisi lain pemerintah diuntungkan dengan menurunnya tingkat pengangguran melalui penyerapan tenaga kerja oleh perusahaan global tersebut.

Mungkin China belajar banyak dari Jepang yang telah dianggap berhasil merebut presepsi kualitas superior bagi produk Jepang. Satu hal yang harus diingat bahwa Jepang mendapatkan kepercayaan ini melalui jaminanan kualitas produk dan jasa yang ditawarkannya. Ini memerlukan dana yang jumlahnya tidak sedikit. Biaya riset dan pengembangan memegang porsi yang sangat berarti dalam struktur biaya produksi.

Sementara itu, China memanfaatkan hasil riset dan pengembangan dari produsen global dengan cara yang lebih murah, karena tidak perlu membayar, dan yang paling penting adalah membuka kesempatan untuk alih teknologi melalui penempatan pegawai yang berasal dari negeri China.

Minggu, 08 Agustus 2010

Seberapa Rasionalkah Bisnis Multi Level Marketing (MLM)?

Di suatu kesempatan saya berbicang bincang dengan rekan saya mengenai bisnis multi level marketing (MLM). Perbincangan ini sebenarnya tidak lama tetapi saya bisa manarik kesimpulan bahwa kami berdua memang sepakat bahwa bisnis MLM menyisikan residu kerugian akan ditanggung oleh si orang yang terbujuk dengan mimpi manis yang ditawarkan.

Mimpi manis ini bukan sekedar cerita bohong, bisa saja ini benar, tetapi tetap saja setiap orang tidak memiliki peluang yang sama untuk bisa dikatakan berhasil dalam bisnis ini. Bisa saja perusahaan bersiasat mendorong seseorang anggota yang dianggap potensial untuk diberikan kesempatan mendapatkan mimpi yang dijanjikan dengan harapan imbalan ini sebagai sarana promosi untuk menarik lebih banyak calon pelanggan emosional untuk sepakat bergabung dengan jaringan bisnis semacam ini.

Lalu dari mana datangnya kerugiannya? Potensi kerugian akan ditemukan dimana informasi tentang bisnis tersebut sudah dapat diakses oleh semua orang dan setiap orang sudah dapat memutuskan untuk berbagung atau tidak bergabung dalam bisnis semacam ini. Atau bahkan secara rasional sudah dapat memutuskan untuk tetap menjalankan bisnis tersebut dengan segala mimpinya atau tidak aktif lagi memperjuangkan bisnisnya. Dalam kondisi seperti ini, laju pertumbuhan anggota yang bergabung tidak sebesar pertumbuhan tingkat biaya bonus atau komisi yang harus dibayarkan pada anggota-anggotanya. Macet... dan akhirnya mati.

Tidak jarang kita mendapati biaya keanggotaan untuk bisnis semacam ini nilainya relatif besar dari yang selayaknya. Selain produk, sebenarnya potensi penghasilan terbesar yang dapat diperoleh anggota bersumber dari biaya keanggotaan ini. Mirip dengan money game tetapi dikaburkan dengan adanya produk yang dijual. Juga dengan margin keuntungan yang sangat besar dan tidak rasional atau dengan skim yang lain yang bila dicermati secara mendalam umumnya tidak wajar.

Porsi biaya pendaftaran ini yang kemudian didistribusikan kembali ke beberapa tingkat atasan dari anggota tersebut. Sebagian lagi masuk ke perusahaan pengelola bisnis dan dialokasikan untuk pembayaran produk jualan perusahaan, biaya keanggotaan, kartu anggota, asuransi, dan berbagai bentuk fasilitas lainnya. Jadi tetap saja yang bayar adalah anggota itu sendiri.

Mungkin masih ada berbagai permasalahan terkait bisnis ini. Keterbatasan pengetahuan dan pengalaman saya mungkin membatasi pembahasan yang singkat ini. Silahkan berkomentar dan memberi masukan terkait sisi negatif dan atau positif bisnis semacam ini walaupun di artikel ini saya tidak menyinggung sisi positifnya.

Senin, 02 Agustus 2010

Belajar dari Proses Belajar

Pengalaman belajar terkadang tidak terlupakan. Coba inget-inget lagi proses belajar yang dulu pernah kita lakukan. Belajar naik sepeda misalnya. Aktivitas yang satu ini mungkin masing kita ingat dengan baik. Lengkap dengan jatuh-jatuhnya dan atau nabrak-nabraknya. Bisa senyum sendiri kalo inget kejadiannya. Jatuh bangun itu sih sering dan wajar terjadi, tetapi pantang menyerah akhirnya membuahkan hasil. Bisa.

Proses belajar yang lain mungkin serupa dengan ini. Banyak suka dukanya. Belajar nyetir atau belajar naik motor misalnya. Untuk belajar naik sepeda motor ini mungkin lebih mudah untuk dilakukan setelah mahir sepeda. Kemampuan menyeimbangkan diri yang sudah diperoleh dari pengalaman bersepeda tinggal harus ditingkatkan sedikit untuk membiasakan gas rem dan perseneling. Nyetir sedikit berbeda, kecuali bila sudah pernah dan bisa mengendarai motor berkopling manual, nyetir mungkin perlu penyesuaian dan pembiasaan keakuratan memutar kemudi maju dan mundur. Dan satu lagi, prosesnya akan lebih efektif bila dilakukan tidak secara marathon.

Dalam kehidupan, proses pembelajaran juga mungkin akan senada dengan kisah ini. Ada proses jatuh dan bangun yang terkadang enggan untuk dialami orang. Keluar dari kenyamanan membuat orang menjadi tidak teruji dan kebisaannya relatif rendah. Iya karena bukan hanya tidak mau mencoba sebagai proses awal menuju keberhasilan, keberhasilan mensyaratkan kekonsistenan dan kemampuan belajar terus menerus. Bila ini dilakukan sudah lazim kalo diakhirnya keberhasilan akan diraih.

Konsep ini tentunya juga bisa diterapkan dalam menjalankan bisnis. Bentuk dan teknisnya saja yang mungkin sedikit berbeda. Jadi ada usaha konsisten, belajar dari pengalaman belajar, pasti akhirnya akan berhasil. Meminjam istilah Mario Teguh tentang kepantasan, dengan segala usaha yang dilakukan sudah “pantas”-lah seseorang berhasil.

Belahan Jiwaku Akhirnya di kembali ke Sang Pencipta

Kisah pilu, yang tertuang di posting tahun lalu, harus bertambah lagi. Di bagian akhir posting tersebut, saya sudah menceritakan bagaimana k...