Jumat, 11 Juni 2010

Gotong Royang diambang ke-Punah-an?

Masih ingat sewaktu sekolah dasar dulu. Guru kita biasanya mengilustrasikan bagaimana sosialisnya masyarakat pedesaan yang dicerminkan dengan sifat gotong royong. Betapa mulianya. Sebagai pembanding, bagaimana masyarakat hidup di perkotaan dengan sifat individualismenya.

Apa yang salah dengan kondisi ini? Apakah salah pola kehidupan sosial di masyarakat perkotaan? Pertanyaan ini yang menggelitik saya untuk sedikit diulas. Paling tidak bila ulasan saya sangat dangkal, mohon dimaafkan dan ditunggu sharingnya utamanya dari para pakar sosiologi.

Pendekatan yang saya gunakan untuk mengkaji ini lebih pada pendekatan kepentingan. Bila dilihat dengan motivasi ini, mungkin masyarakat pedesaan dan perkotaan serupa. Bentuk kepentingannya yang mungkin sedikit berbeda. Bila di masyarakat pedesaan ada bentuk gotong royong membangun jembatan, dimana setiap orang dalam lingkungan masyarakat tersebut terlibat bekerja secara langsung, tentunya setiap dari mereka memiliki kepentingan masing-masing. Paling sederhana bentuknya yaitu tidak ingin dikucilkan oleh masyarakat.

Kondisi sosial seperti ini sebenarnya sama. Rasa tidak ingin dikucilkan dalam lingkungan masyarakat juga terjadi di masyarakat perkotaan. Mungkin bentuknya saja yang sudah berevolusi. Masyarakat perkotaan memandang kepentingan dirinya tidak hanya terbatas pada kehidupan bertetangga sacara nyata, akan tetapi lebih pada kehidupan bertetangga yang dekat dengan kepentingan mereka. Mereka tetap bisa bekerjasama dengan bentuk yang berbeda. Bersinergi, saling menguntungkan melalui media yang tepat misalnya media komunikasi seperti telpon, internet, dan lain sebagainya.

Kesibukan yang menghinggapai masyarakat perkotaan tentunya juga tidak bisa dipersalahkan. Kondisi ini yang menyebabkan minimnya interaksi sosial di masyarakat perkotaan dalam lingkungan sekitar. Tetapi teori tetang manusia sebagai mahluk sosial tentunya tidak juga terpatahkan dengan fenomena ini. Jadi gotong royong saya rasa tidak akan punah hanya dengan menurunnya intensitas interaksi di masyarakat perkotaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Belahan Jiwaku Akhirnya di kembali ke Sang Pencipta

Kisah pilu, yang tertuang di posting tahun lalu, harus bertambah lagi. Di bagian akhir posting tersebut, saya sudah menceritakan bagaimana k...