Senin, 03 Agustus 2009

Etika Berkendara Cermin Kepribadian

Pernah punya pengalaman tidak menyenangkan di jalanan? Bagi orang dengan mobilitas di jalanan tinggi tentunya pasti sering dong. Begitu juga dengan aku. Walaupun mobilitasku tidak tinggi, tetap saja ada pengalaman tidak menyenangkan ini yang ku alami.

Pernah tinggal di berbagai kota di Indonesia mungkin memberikan kesempatan untuk bisa membandingkan bagaimana karakter masyarakat kota melalui indikator etika berkendara. Ayo kita ulas sedikit.

Kita awali dengan Kota Coto, Makassar. Karakter keras kota ini tercermin dari pola berkendara masyarakatnya. Tidak sabar. Saling mendahului. Klakson panjang bersahut-sahutan, utamanya kalau macet (padahal khan, namanya macet gitu lho, gak ada yang bisa jalan dengan lancar, so ngapain juga neken klakson terus terusan, heran...). Untuk kasus hampir bertabrakan, saling mengumpat sudah jadi pemandangan umum, tentunya dibarengi juga dengan klakson panjang. Mungkin karena kendaraannya tidak diasuransikan kali yah.

Selanjutnya, kita telisik Kota Pahlawan, Surabaya. Relatif tertib, walaupun sering macet. Tetapi jangan khawatir, biasanya ada polantas (polisi lalu lintas) yang siaga mengatur aliran lalu lintas. Tapi nggak tau, ada polisi karena macet, atau... macet karena ada polisi. Tau deh... Pisss pak polisi. Intensitas saling mengumpat bila hampir terjadi tabrakan juga relatif tinggi meski tidak setinggi di Makassar.

Melangkah ke Kota Apel, Malang. Di kota ini kemaretan relatif kurang. Coz kotanya nggak sebesar surabaya. Paling di sekitar alun-alun dan pasar besar aja yang terkadang macet. Perilaku berkendara masyarakatnya sih sebelas-dua belas dengan di Surabaya. Begitu juga bila hampir terjadi tabrakan.

Kota Pelajar, Yogyakarta. Doeloe pertengahan tahun 90-an, jogja hawanya masih adem. Keakraban di kota ini sangat kental terasa. Lalu lintas tertib, dan umumnya tidak panasan. Bahkan kalau hampir tabrakan paling sama-sama tersenyum. Tidak ada klakson panjang. Paling cuman sama sama ngangguk. Miscommunication bro. Tetapi setelah tahun 2000-an, Jogja jadi tambah panas, begitu juga keramahan masyarakatnya mulai memudar berkat semakin banyaknya pendatang dari kota-kota lain untuk studi (dengan bekal karakter asal mereka).

Kota Seribu Sungai, Banjarmasin. Mungkin yang paling amburadul. Perubahan moda transportasi dari jukung dan kelotok (jukung= perahu kecil tanpa mesin, kelotok= perahu bermesin) ke kendaraan darat seperti motor dan mobil membuat masyarakat di kota ini terlihat mengalami cultural shock. Belingsatan, mau seenaknya sendiri, nggak mau kalah, plus mengabaikan rambu-rambu lalu lintas. Bahaya banget khan. Nah... bagi Anda yang pendatang baru atau yang berencana mengunjungi kota ini, silahkan persiapkan diri dengan baik. Konsentrasi ekstra di jalan, dan tetap waspada. Karena sering sekali orang tiba-tiba motong jalan kamu sebelum sepenuhnya mendahului kamu.

Di kota seribu sungai ini, saya sendiri pernah hampir celaka gara-gara ada orang nggak sabaran nerobos traffict light yang masih merah. Bagi Anda pengendara mobil jangan heran bila banyak pengendara sepeda motor yang melenggang santai ditengah jalan di jalur mobil. Bila diklakson, eh... orangnya malah menunjukkan reaksi nantangin sambil melotot. Lucu banget khan udah salah eh malah marah.

Jadi kepribadian disini mungkin bisa tercermin dari pola terkendara. Tetapi ini hanya opini saya, kalau tidak sependapat atau punya tanggapan silahkan berkomentar. Mohon maaf apabila ada yang merasa tidak sesuai, semoga bisa menjadi pembelajaran bersama. Bagaimana dengan kota kamu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Belahan Jiwaku Akhirnya di kembali ke Sang Pencipta

Kisah pilu, yang tertuang di posting tahun lalu, harus bertambah lagi. Di bagian akhir posting tersebut, saya sudah menceritakan bagaimana k...